Tanggal 2 April yang lalu diperingati sebagai hari Autisme Sedunia. Lebih
tepatnya lagi oleh WHO hari itu disebut sebagai
World Autisme Awareness Day. Beberapa agenda yang dilakukan dalam rangka memperingati hari tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kita akan adanya gangguan
austisme di sekitar kita terutama pada anak-anak.
Dua puluh tahun
lalu, mungkin belum banyak orang yang memahami penyakit ini. Diperkirakan
saat itu mungkin orang lebih memahami anak autisme sebagai anak yang
mengalami keterbelakangan mental atau dulu sering dikenal dengan anak
idiot (catatan : istilah ini semakin lama sudah semakin hilang dari tata
bahasa sehari-hari dan ini merupakan pertanda yang baik karena istilah
ini sangat stigmatis).
Walaupun memang lebih dari 70 persen pasien
Autisme mengalami gangguan mental, ada perbedaan mendasar antara
autisme dan gangguan mental.
Autisme adalah termasuk dalam gangguan
perkembangan jiwa pervasive yang biasanya bermula sejak usia sebelum 3
tahun. Ketidakmampuan interaksi sosial yang jelas dan bertahan serta
gangguan komunikasi adalah yang paling jelas terlihat pada pasien
autisme. Adanya pola perilaku dan minat yang terbatas atau sterotipik
(khas dan diulang-ulang) merupakan ciri yang lain.
70 persen anak
autisme mengalami retardasi mental dan inilah mungkin yang dulu
disalahpahami sebagai gangguan mental daripada autisme. Sampai saat ini
penyebab pasti autisme tidak diketahui. Keterlibatan faktor biologis
dipastikan dengan beberapa penelitian yang mengungkapkan adanya
ketidakseimbangan sistem di otak anak yang mengalami autisme.
Tanda dan gejala
A. Kesulitan dalam interaksi sosial yang nyata :
-Tidak ada kontak mata
-Kesulitan berhubungan dengan teman sebaya sesuai tingkat perkembangan usia
-Kesulitan dalam membagi kesenangan dengan orang lain
-Tiada hubungan sosial timbal balik
B. Kesulitan dalam komunikasi
-Terhambat atau tiadanya kemampuan bicara (tidak ada upaya non-verbal lain juga)
-Jika mampu bicara, sulit berkomunikasi adekuat dengan orang lain
-Pemakaian kata yang berulang, tidak bertujuan
-Tidak mampu bermain peran secara spontan sesuai tingkat perkembangan
C. Terdapat keminatan, perilaku dan kegiatan streotipik (khas) dan berulang
-Preokupasi (kecenderungan) terhadap perilaku streotipik tertentu
-Perilaku melakukan ritual rutin yang tidak bertujuan
-Gerak motorik yang streotipik (mannerism) seperti menepuk-nepuk tangan (flapping), gerak tubuh yang tidak bertujuan
Sampai
saat ini pengobatan pada pasien anak autisme mengkombinasikan terapi
biologis (dengan obat) dan juga dengan terapi-terapi lain seperti
sensori integrasi, terapi bicara, terapi perilaku, terapi okupasi dan
berbagai jenis lainnya. Perkembangan pengobatan semakin banyak
menggunakan berbagai terapi lain seperti terapi musik dan terapi tari.
Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gangguan perilaku yang sering
timbul, memperbaiki kemampuan bahasa dan komunikasi serta membuat pasien
lebih mandiri.
Walaupun hampir 2/3 pasien dengan autisme tidak
mampu hidup mandiri, sebagian kecil lainnya dengan terapi yang tepat dan
intensif dapat meningkatkan kemandirian dirinya. Pengobatan dengan
obat saat ini bertujuan untuk mengurangi gangguan perilakunya. Obat yang
diberikan biasanya adalah golongan antipsikotik seperti risperidone dan
aripriprazole yang belakangan telah disetujui oleh badan obat dan
makanan Amerika Serikat untuk digunakan sebagai terapi pada pasien
autisme.
Satu hal yang paling penting dalam tata
laksana pasien autisme adalah kerjasama dengan orang tua pasien.
Penerimaan orang tua akan kondisi anaknya terkadang sangat sulit
sehingga penolakan ini bisa berakibat pada tata laksana yang baik buat
pasien. Begitu banyaknya informasi yang kadang berlebihan membuat orang
tua bingung untuk menentukan terapi yang tepat untuk anaknya.
Gejala awal autisme bisa dideteksi sejak anak berusia enam bulan dengan
cara mengukur aktivitas otaknya. Dengan demikian diharapkan dokter dan
orangtua bisa mempersiapkan terapi untuk mengoptimalkan tumbuh kembang
anak. Selama ini para dokter baru bisa mendiagnosa autisme saat
anak berusia dua tahun karena di usia yang lebih dini gejala-gejala yang
berkaitan dengan gangguan perilaku dianggap belum jelas. Akan tetapi
teori itu dipatahkan oleh studi terbaru yang dilakukan oleh peneliti
dari Inggris.
Dalam penelitian itu dilibatkan 104 bayi berusia 6 -
10 bulan, kemudian diikuti perkembangannya sampai mereka berusia 3
tahun. Profesor Mark Johnson, ketua penelitian ini menggunakan metode
pengukuran pemindaian aktivitas otak saat anak diajak melakukan kontak
mata.Ternyata anak-anak yang akhirnya menderita autisme adalah
mereka yang memiliki pola aktivitas otak tidak normal ketika merespon
kontak mata dengan orang lain. Meski pemindaian otak mungkin
tidak akurat untuk memprediksi autisme, karena ada juga anak yang hasil
pemindaian otaknya dicurigai autisme tapi tidak terbukti, namun Johnson
berpendapat bahwa ini bisa menjadi alarm dini bagi para orangtua, karena
di usia di bawah setahun seorang bayi belum memiliki tanda perilaku
yang jelas, kami berusaha melihat apakah dengan mengukur aktivitas otak
bisa diketahui risiko autisme